Pontianak (ANTARA) - Implementasi program cofiring biomassa di PLTU PLN Group terbukti berdampak positif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah Jalan Parit Nanas 2, Kelurahan Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara, Kalimantan Barat (Kalbar).
Seorang warga di wilayah tersebut bernama Baiti (25) mengatakan, jika bekerja sebagai buruh cuci baju ia hanya mendapatkan bayaran Rp150 ribu per tiga hari atau Rp50 ribu per hari.
"Saat ini saya diupah Rp75 ribu per hari yang dibayarkan seminggu sekali. Alhamdulillah bisa membantu ekonomi keluarga,” ujar ibu dua anak tersebut saat ditemui di lokasi fasilitas produksi, Rabu.
Di wilayah itu terdapat sebuah fasilitas produksi pengolahan biomassa milik CV Rezeki Insan Lestari (RIL) sebuah perusahaan yang bermitra dengan PLN untuk menyuplai wood chip ke PLTU Bengkayang.
Perusahaan tersebut menyerap 11 tenaga kerja, masing-masing dua perempuan dan sisanya pria.
Program cofiring biomassa ini memberikan kesempatan kerja serta meningkatkan kualitas hidup warga sekitar perusahaan, termasuk Baiti dan Apung (35).
Mereka adalah ibu rumah tangga yang bekerja di perusahaan RIL untuk memproduksi serpihan kayu (wood chip) program cofiring biomassa PLTU Bengkayang.
Sebelum ada program ini, untuk membantu perekonomian keluarga dan memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagian bekerja sebagai buruh cuci serabutan.
Baiti menceritakan, di perusahaan RIL tugasnya cukup ringan. Ia dan Apung diberi tanggung jawab untuk membawa kayu-kayu yang sudah dipotong ke mesin pencacah menggunakan gerobak kecil. Jarak dari mesin pemotong ke mesin pencacah hanya sekitar 5 meter.
Tiap hari kata dia, warga di Gang Tani, Selatpanjang Dua, Desa Megatimur, Sungai Ambawang, Kubu Raya itu bekerja sekitar 7 jam. Aktivitasnya dimulai pukul 08.00 hingga pukul 11.00 lalu beristirahat. Ia dan rekan-rekannya kembali bekerja pukul 13.00 hingga pukul 17.00.
Penghasilan yang didapatnya saat ini sangat bisa membantu ekonomi keluarga. Rata-rata per pekan, ia bisa membawa pulang Rp570 ribu.
“Sangat membantu ekonomi keluarga. Suami saya seorang sopir. Sekarang saya bisa menabung dan ikut arisan Rp100 ribu tiap pekan. Saya senang bisa bekerja dan memiliki penghasilan tetap,” tambahnya.
Hal senada juga dikatakan, pekerja lainnya, Kusnadi (38). Meskipun enggan menyebutkan berapa penghasilannya, ia mengaku bisa menghidupi istri dan empat anaknya dengan bekerja di fasilitas produksi biomassa. Bahkan menurut Kusnadi, ia bisa menyisihkan penghasilannya untuk ditabung.
“Saya bersyukur saja dengan penghasilan sekarang ini. Kerja tak jauh dari rumah. Jarak pabrik ke rumah hanya 1 kilometer,” ucap pria yang sebelumnya bekerja di perkebunan kelapa sawit tersebut.
Kusnadi berharap, biomassa yang digunakan untuk program cofiring PLTU milik PLN Group dilaksanakan berkelanjutan. Dengan demikian, ia dan rekan-rekannya bisa terus bekerja untuk menghidupi keluarga.
“Harapannya tentu penggunaan biomassa ini lanjut agar kami bisa bekerja di kampung sendiri,” ujarnya.
Tak hanya pada pekerjanya, keberadaan CV RIL juga berdampak pada Budiman. Budi, sapaannya merupakan pemilik kebun karet.
Menurut Budi, pohon karet di kebun seluas 4 hektare miliknya ditanam orangtuanya sekitar pertengahan 1970-an.
Saat ini, kayu karet di kebun miliknya itu sudah tidak produktif. Awalnya ia ingin menggantinya dengan tanaman sawit. Ia pun menebang pohon karet di kebunnya tersebut.
“Kayunya saya jual ke CV RIL Rp270 ribu per ton. Ibaratnya saya bisa membersihkan kebun tanpa mengeluarkan biaya bahkan masih untung karena kayunya punya nilai ekonomi,” ucap dia.
Sebelum dimanfaatkan sebagai raw material biomassa, lanjut Budi, kayu dari kebun yang dibersihkan dibiarkan saja atau bahkan dibakar. Oleh karena itu, keberadaan CV RIL sangat membantu warga seperti dirinya dan yang lain.
Bahkan katanya, karena kayu karet memiliki nilai ekonomi, pria yang pernah bekerja di perkebunan kelapa sawit itu mengurungkan niatnya menanam sawit.
Ia memilih untuk menanami lagi kebunnya dengan kayu karet. Warga Megatimur, Kubu Raya itu juga menyisakan tanaman karet tua karena bisa menghasilkan bibit karet.
“Ketika buah karet jatuh, ia akan cepat tumbuh. Saya tinggal tanam saja bibit tanaman karet yang tumbuh itu. Jika sudah besar, bisa saya potong untuk dimanfaatkan sebagai biomassa. Saya tidak berharap banyak dari menyadap karet karena sekarang harganya jatuh dan sulit mencari pekerja untuk menyadap,” kata Budi yang berprofesi sebagai anggota BPD Desa Megatimur tersebut.
Pemilik CV RIL, Supriyadi menerangkan jika ia memprioritaskan warga di sekitar fasilitas produksinya untuk bekerja. Seluruh pekerjanya merupakan warga setempat.
Supri mengaku senang keberadaan fasilitas produksinya bermanfaat dan menyerap tenaga kerja lokal.
“Upah tenaga kerja saya mulai Rp75 ribu hingga Rp120 ribu per hari. Jika ada lembur, saya juga menambah upahnya,” ucap Supriyadi.
Sementara terkait bahan baku, ia memanfaatkan limbah kayu karet yang tidak dimanfaatkan warga. Menurut dia, pemilik kebun karet di sekitar fasilitas produksinya banyak yang ingin menggantinya dengan sawit.
Selain itu, terkadang warga juga mendapat limbah kayu yang hanyut terbawa sungai. Limbah tersebut selanjutnya disetorkan padanya.
“Kadang ada limbah kayu yang hanyut terbawa arus sungai. Warga mengambilnya lalu disetorkan ke saya. Sungainya bertambah bersih dan warga punya penghasilan,” ujarnya.
Di sisi lain, Supri menyadari jika raw material dari limbah pada akhirnya akan habis. Oleh karena itu, ia juga berencana melakukan penanaman. Bahkan, di depan fasilitas produksinya, ia menyediakan bibit pohon akasia untuk ditanam warga bagi yang menghendakinya.
Dari fasilitas produksinya, Supri mengatakan mampu mengirimkan antara 20 ton hingga 25 ton per harinya ke PLTU Bengkayang.
Ia berharap, cofiring biomassa PLTU PLN menjadi program yang sustainable dan berkelanjutan.
Pewarta: Narwati
Editor: Hanni Sofia
Copyright © ANTARA 2025