Jakarta (ANTARA) - Sulawesi atau Celebes adalah keajaiban. Buminya, floranya, faunanya, insannya, ajaib semua. “Sepenggal firdaus,” kata naturalis Inggris Alfred Russel Wallace (1823–1913).
Ia ajaib dalam arti sesungguhnya. Keajaiban yang bukan hasil sayembara-sayembaraan. Bukan hasil juri-jurian, tapi murni anugerah ilahi.
Celebes ditakdirkan Tuhan berada di tengah-tengah Kepulauan Nusantara. Ia berada di jantung Wallacea, wilayah perantara antara Sundalandia dan Sahulandia. Ia bukan sekadar pulau, melainkan triple junction tempat bertemunya tiga lempeng tektonik besar: Pasifik, Eurasia, dan Indo-Australia.
Posisi ini menjadikan Sulawesi sebagai laboratorium alam bagi ilmu geologi dunia. Robert Hall, geolog terkemuka, menyebut bahwa hanya di Celebes para ilmuwan bisa mengamati awal dan akhir proses subduksi.
Benturan lempeng menghasilkan ofiolit yang melapuk menjadi laterit, kaya akan besi dan nikel. Tak heran nama Sulawesi berasal dari “sula” (pulau) dan "wesi" (besi). Besi dari Sulawesi telah lama menopang peradaban Nusantara: dari keris dan tombak yang menjadi warisan budaya dunia, hingga meriam yang membuat Portugis gentar di Malaka.
Benturan dan bauran dari banyak sekali teran membuat rupa bumi Sulawesi menjadi kaya dan kompleks. Begitupun fauna dan floranya. Dari 7.450-an pulau di Wallacea, ditemukan 800-an jenis burung (setara dengan separuh yang Indonesia punyai); 350-an di antaranya hanya eksis di daerah itu saja.
Itulah kiranya mengapa Wallace betah sekali tinggal dan meneliti di sana. Korespondensi riset Wallace dipercaya turut mewarnai konstruksi teori evolusi dari seorang koleganya Charles Darwin (1809–1882). Dunia membaptis Wallace sebagai “Bapak Biogeografi”. Dunia juga membaptis “zona antara” itu sebagai “Garis Wallace”.
Karakter besi
Keistimewaan alam Sulawesi tercermin dalam karakter leluhurnya. Kokoh, kuat, namun lentur, sebagaimana sifat besi. Bukti nyata terlihat pada karya megalitik di lembah Poso, Sigi, dan Minahasa, serta lukisan gua purba di Leang Karampuang yang berusia lebih dari 51.000 tahun—narasi seni tertua di dunia.
Karakter besi juga tampak dalam tradisi maritim. Leluhur Sulawesi berani melakukan mallakke dapureng—migrasi besar dengan perahu sederhana, membawa keluarga, benih, religi, dan mimpi. Mereka menebar diaspora hingga ke Sumatera, Malaysia, Filipina, Madagaskar, bahkan Afrika. Keberanian ini melahirkan generasi yang menjadi saudagar, pemimpin, hingga raja.
Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) memberi materi kepemimpinan kepada peserta TSLB (Tri-Sector Leadership Bootcamp) Angkatan ke 8 di Jakarta, Sabtu (15/11/2025). ANTARA/HO-Institut Harhat Negeri/aa.Energi kebaikan
Karakter besi itu, kini hidup kembali dalam generasi muda Sulawesi. Dua bulan terakhir, digelar Tri-Sector Leadership Bootcamp (TSLB) Angkatan ke-8, sebuah program beasiswa Institut Harkat Negeri (IHN) untuk pelatihan kepemimpinan intensif selama tujuh pekan. Uniknya, dalam pelatihan kali ini, hampir seluruh pesertanya berbasis di Sulawesi—36 orang dari Makassar, Palu, Gowa, Bone, Sigi, Gorontalo, hingga Tomohon. Mereka datang dari tiga sektor: privat, publik, dan sosial, dengan mayoritas perempuan.
Kita sebut mereka Jong Celebes. Bukan untuk primordialisme, melainkan untuk membangkitkan semangat persamaan nasib ber-Indonesia, sebagaimana refleksi Sumpah Pemuda 1928. Mereka adalah generasi yang cerdas, kritis, energik, lentur, dan berdaya tahan—ciri khas “manusia besi".
Proses mentoring mereka, dalam kenyataannya, menjadi proses belajar bersama. Para mentor pun mendapat banyak masukan dan peneguhan dari para Jong Celebes itu. Ibaratnya, kami sama-sama menjadi pandai besi: saling menempa karakter-karakter agar menjadi baik. Percik-percik besi dari proses belajar bersamanya ada saya catat.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































