Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Toha menilai 100 hari kerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan perbaikan sistem politik di tanah air, salah satunya dengan merevisi paket undang-undang (UU) politik.
"Perbaikan sistem politik itu bisa dilakukan dengan revisi paket UU politik melalui sistem omnibus law, yang akan menggabungkan banyak UU, seperti UU Pemilu, Pilkada, Partai Politik, dan UU lainnya," kata Toha dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Dia menyebut banyak hal yang harus diperbaiki dalam sistem politik di Indonesia selepas pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 dihelat. Misalnya, terkait pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).
"PKB mengusulkan agar pelaksanaan pileg dan pilpres dipisah, yaitu pileg dahulu baru kemudian pilpres," ujarnya.
Menurut dia, selama kedua pemilihan itu digelar serentak maka masyarakat lebih fokus terhadap pilpres, sebaliknya gelaran pileg kurang mendapatkan perhatian.
"Akhirnya para caleg yang bertarung dalam pileg kurang mendapatkan atensi dari masyarakat. Pilpres lebih diminati," ucapnya.
Selain pileg dan pilpres, dia menilai sistem pelaksanaan pilkada juga harus diperbaiki. Menurut dia, pemilihan gubernur secara langsung tidak efektif dan efisien lantaran memakan anggaran yang sangat besar.
Baca juga: Wamendagri: Revisi UU merujuk putusan MK soal "presidential threshold"
Baca juga: KPU patuh pada konstitusi soal revisi omnibus law politik
Baca juga: Menimbang simplifikasi regulasi politik melalui metode "omnibus law"
"PKB mengusulkan pilkada tingkat provinsi atau pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD provinsi, tidak lagi melalui pemilihan langsung oleh masyarakat," tuturnya.
Sebaliknya, lanjut dia, dengan sistem pemilihan gubernur melalui DPRD maka dapat menghemat anggaran yang harus dikucurkan.
"Otonomi daerah sejatinya juga berada di tingkat kabupaten dan kota. Bukan di tingkat provinsi. Jadi perlu ada pilkada langsung di level gubernur, cukup melalui DPRD saja," paparnya.
Adapun, tambah dia, tantangan pemerintahan Prabowo berikutnya adalah perpindahan ibu kota dan aparatur sipil negara (ASN) ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Menurut dia, perpindahan ibu kota ke IKN tidaklah mudah dan membutuhkan persiapan yang matang dari pemerintah, serta tidak boleh tergesa-gesa.
Dia menekankan target Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) harus lebih realistis dan menerapkan target pencapaian pembangunan (milestone) yang terukur.
Sebab, ujarnya lagi, APBN 2025 untuk IKN masih sejumlah Rp6,3 triliun dari rancangan anggaran sebesar Rp400,3 triliun.
"Begitu juga soal perpindahan ASN ke IKN. Kemenpan RB harus menunggu arahan dan peraturan presiden (Perpres). Tidak mudah bagi ASN untuk pindah ke IKN. Selain soal infrastruktur, mereka juga harus beradaptasi dengan lingkungan," kata dia.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2025