Sulitnya Puasa Ramadhan di Era Digital

1 day ago 3
Bahkan, untuk "saleh" secara digital seperti "tiga saran" dalam buku "Kesalehan Digital" (sanad, matan, rawi), agaknya juga bukan hal mudah.

Surabaya (ANTARA) - Sulit-tidaknya puasa Ramadhan itu sudah dipetakan oleh Bapak Tasawuf Dunia Imam Ghazali yang lahir di Persia/Iran pada tahun 1058 dengan membagi tiga tingkatan puasa dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin.

Bagi pemikir tasawuf terkemuka itu, puasa itu ada tiga tingkatan, yakni "shaumul umum" (puasa awam/menahan lapar), "shaumul khusus" (puasa khawas/khusus/menahan mulut), dan "shaumul khususil khusus" (puasa super khusus/menahan jasmani dengan fokus urusan akhirat).

Artinya, puasa orang awam (shaumul umum) itu berpuasa sebatas menahan haus dan lapar atau memenuhi puasa sebatas "syariat" (aturan formal dalam agama). Untuk puasa orang khusus/khawas (shaumul khusus) itu lebih dari sekadar untuk menahan haus/lapar, tapi juga menjaga mulut. Kalau di era digital itu menahan jari dari share hoaks, framing, bullying, dan semacam itu.

Lain lagi dengan puasa pada tingkatan tertinggi yakni "shaumul khususil khusus" (puasa super khusus). Puasa tingkat ini tidak saja menahan diri dari maksiat yang melibatkan keseluruhan jasmani, yakni menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan anggota badan lain, tapi juga menahan hati dari keraguan keakhiratan, menahan pikiran dari masalah duniawi, menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah.

Artinya, hakekat puasa adalah menahan nafsu, baik menahan nafsu lapar/haus (puasa awam), menahan nafsu seluruh anggota tubuh seperti mulut, mata, telinga, dan sebagainya (puasa khawas/khusus/menahan mulut), maupun menahan nafsu lapar/haus, sekaligus nafsu seluruh anggota tubuh dan mengalihkan fokus pada akhirat (puasa super khusus).

Nah, menahan nafsu inilah yang disebut Imam Ghazali sebagai masalah paling besar di dunia, bahkan maha besar di era digital, karena adanya faktor "anonim" atau tidak bertemu/mengenal secara langsung, yang membuat penggunanya menjadi "berani" bergosip atau berbuat apa saja.

Sejumlah keberanian dari faktor "anonim" itulah yang akhirnya memunculkan antara lain hoaks, scams/crime, framing, pishing/hack, bully, radikal digital, rekayasa video/grafis/penyuntingan, dan sebagainya.

Bagi Orang Indonesia (OI), isu/gosip yang bersifat SARA, termasuk di media sosial, adalah sasaran isu paling empuk untuk membuat gaduh dan viral, sekaligus a-moral, karena isu/gosip SARA itu merupakan cara paling mudah mengaduk-aduk emosi atau memprovokasi OI.

Contohnya; foto ratusan jenazah Muslim Uighur yang menjadi korban pembantaian oleh Tentara China, padahal itu aslinya foto korban gempa bumi Nepal pada beberapa tahun silam; atau negara China pemberi utang terbanyak ke Indonesia. Banyak hoaks serupa yang "mencomot" video dari lokasi lain yang diberi narasi seolah terjadi di tempat ini.

Hoaks lain ada yang menyeret persaingan bisnis yang dikemas SARA. Misalnya, narasi: "Gaza Memanggil: Boikot Donatur Zionis demi Al Aqsa dan Palestina. Tahukah kamu: Pemilik Starbucks terang-terang akan meningkatkan donasi untuk Israel membunuh orang-orang Arab. Dananya sebesar 2 miliar dolar dari laba Starbucks setiap tahunnya untuk Israel."

Padahal, isu SARA terkait donasi Zionis itu sudah diluruskan dalam CNN Money (10/8/2013) bahwa jaringan kedai kopi raksasa dunia Starbucks maupun CEO-nya Howard Schultz membantah pihaknya mendanai Israel. Sebelumnya memang santer beredar isu Starbucks memberikan dukungan finansial untuk tentara Israel. Bahkan pihak perusahaan menyatakan telah menutup semua kedai kopinya di Israel sejak 2003.

"Starbucks tidak mendukung dan tak ada kaitannya dengan semua penyebab ketegangan politik dan agama, begitu juga dengan Howard (CEO Starbucks). Tak ada dukungan finansial dari Howard atau perusahaan untuk pemerintah Israel untuk tujuan apapun," kata Juru bicara perusahaan, Jim Olson.

Logika dan nilai ibadah

Itu baru soal hoaks dan dampak bisnis, ada dampak yang tak kalah ngeri di dunia digital terkait radikalisasi/radikal digital, misalnya posting untuk meninggalkan Pancasila, karena Islam lebih baik daripada Pancasila.

Bagi awam, jebakan "radikal digital" itu logis dan umumnya medsos memang "permainan" logika, padahal perbandingan yang seakan logis itu tidak selevel, karena Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi. Tepatnya, perbandingan Islam yang selevel adalah dengan agama, seperti Kristen, sedangkan Pancasila itu selevel bila dibandingkan dengan sesama ideologi, seperti komunisme.

Banyak lagi potongan/pelintiran dan kebohongan/hoaks dari informasi yang menjejali jagat maya (medsos), yang memang "banjir" informasi itu. Itu pun terkesan logis, padahal hal yang logis itu belum tentu benar, apalagi bila digunakan framing akan lebih runyam, karena framing itu bisa berangkat dari kesalahan yang diulang-ulang hingga menjadi seperti kebenaran (proses framing/pembingkaian).

Masalahnya, jebakan dunia digital itu memang menjadi masalah besar di bulan puasa Ramadhan, meski di bulan lain pun selayaknya jadi kritik bagi kita, mengingat dampaknya dalam menggerus nilai ibadah hingga "muflis" (bangkrut secara akhirat).

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengajak masyarakat untuk "mendiamkan" gawai sejenak dalam beberapa jam saat Ramadhan, minimal satu jam, untuk memaksimalkan interaksi dengan anak-anak, shalat berjamaah, tadarus Al-Qur'an, mendongeng kisah-kisah Rasulullah, dan mendengarkan cerita baik selama sehari berpuasa.

Ajakan Menteri PPPA itu membuktikan betapa sulitnya berpuasa Ramadhan di era digital ini, karena menahan lapar mungkin mudah, tapi menahan nafsu dari prasangka kepada siapapun bukan perkara yang mudah untuk era yang memosisikan gawai/ponsel sebagai candu.

Bahkan, untuk "saleh" secara digital seperti "tiga saran" dalam buku "Kesalehan Digital" (sanad, matan, rawi), agaknya juga bukan hal mudah.

Saran pertama, ada SANAD/narasumber (narasumber kompeten). Saran kedua, MATAN/konten/materi redaksi (bukan editan, bukan sepihak/adil/ imbang, dan untuk kepentingan publik (kebersamaan/persatuan, bukan pembenaran). Saran ketiga, RAWI/ referensi (sumber rujukan yang kredibel/terpercaya). Ketiga saran itu juga tidak mudah.

Agaknya, cara pandang Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur KH Abdul Hakim Mahfudz yang akrab disapa KH Kikin untuk melihat Ramadhan secara khusus sebagai ibadah milik Allah Yang Maha Kasih, dapat menjadi oase di tengah sulitnya berpuasa Ramadhan yang sesungguhnya di era digital saat ini.

Dalam sebuah Hadits Qudsi memang disebutkan puasa Ramadhan adalah satu-satunya ibadah dalam otoritas mutlak Allah Sang Pencipta. "Kalau ibadah lain itu untukmu, maka puasa itu untuk-Ku dan Aku (Allah) yang akan membalasnya". Demikian khusus dan istimewa untuk puasa Ramadhan ya?!

Kalau misalnya sholat untuk mencegah dari perbuatan munkar, atau sedekah untuk menghindari musibah, dan sebagainya, maka puasa justru untuk menunjukkan seberapa cinta kita kepada Allah melalui proses meluluhlantakkan nafsu lewat lapar agar kita kembali kepada-Nya. Khusus kan?!

Alangkah indah dan bijaknya bila kita menyimak "dawuh" seorang ulama tentang "ibadah khusus" itu, yakni "Jangan menangis karena ditinggal pergi Ramadhan, karena Ramadhan itu pasti kembali. Tapi, tangisilah dirimu ketika Ramadhan kembali, sedangkan kamu tidak kembali...".

Baca juga: Syarat sah puasa yang harus dipenuhi agar ibadah diterima

Baca juga: Arti kata "mokel" istilah bahasa gaul di bulan puasa Ramadhan

Baca juga: Google ungkap tren pencarian yang populer pada Ramadhan 2025

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |