Samsara: Perlu mekanisme lebih baik bantu korban akses layanan aborsi

3 hours ago 2
Aturan ini mensyaratkan empat surat yang harus diperoleh secara kumulatif untuk mengakses layanan...

Jakarta (ANTARA) - Direktur Samsara Ika Ayu mengatakan mekanisme yang lebih baik dalam melayani korban yang ingin aborsi, namun sejumlah ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2025 berisiko mempersulit akses tersebut.

Dalam webinar di Jakarta, Kamis, Ika menjelaskan Permenkes 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi berpeluang menambah pengalaman traumatis bagi korban, karena ketentuan yang dinilai berlapis, rumit, dan penuh dengan syarat administratif.

"Aturan ini mensyaratkan empat surat yang harus diperoleh secara kumulatif untuk mengakses layanan, termasuk Surat Keterangan Penyidik (Pasal 60), berpotensi menghambat korban mengakses layanan aborsi," ujarnya.

Mekanisme tersebut, katanya, mengabaikan pengalaman perempuan korban, sebagai individu dengan kondisi darurat medis yang membutuhkan layanan aborsi, untuk mengambil keputusan secara utuh.

Faktanya, kata dia, tidak semua korban kekerasan seksual dan korban perkosaan dapat dan berkehendak untuk melaporkan kasusnya ke polisi.

Baca juga: Komnas: Layanan aborsi aman bagi korban perkosaan harus memadai

Hal lain yang perlu diperhatikan, katanya, juga tujuan dari konseling yang diberikan pada korban, apakah untuk membantu kondisi psikologi korban atau untuk mengubah pikiran korban agar tidak aborsi.

Dengan adanya syarat berupa surat-surat tersebut, lanjutnya, ditambah dengan batas waktu yakni 14 minggu kehamilan untuk layanan aborsi, maka akses semakin sulit didapatkan.

Peneliti dari Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Audrey Kartisha Mokobombang menambahkan ketika korban memilih untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan dan membutuhkan layanan aborsi, hingga ini belum ada mekanisme internal dalam kepolisian yang dapat menerbitkan surat keterangan tersebut.

Dalam hal situasi darurat medis, kata Audrey, aturan ini mengharuskan persetujuan suami dan/atau keluarga untuk mengakses layanan aborsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 62. Ketentuan ini mencabut otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri, bahkan dalam kondisi yang mengancam nyawa.

Baca juga: YKP minta akses ke pelayanan aborsi tidak dipersulit

Oleh karena itu dia menilai persyaratan persetujuan suami atau keluarga harus dihapus demi menjamin hak perempuan atas keputusan medisnya sendiri.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta menyebutkan layanan aborsi adalah layanan kesehatan yang menjadi bagian dari hak pemulihan kesehatan korban kekerasan seksual dan perkosaan, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022.

Dia menilai tim pertimbangan yang terdiri dari lebih dari satu tenaga medis juga dapat menjadi penghambat yang tidak sensitif terhadap situasi korban. Selain itu, kata Nanda, aturan ini juga mengabaikan fakta terbatasnya tenaga medis, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

"Secara geografis dan ketersediaan akses, tidak semua korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan berada di wilayah dengan fasilitas kesehatan tingkat lanjut," ucapnya.

Baca juga: Komnas Perempuan: Ada 103 korban TPKS berakibat kehamilan sejak 2018

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |