Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menyebutkan, seharusnya orang dengan disabilitas dilibatkan dalam pembuatan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 2 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi, agar dapat mencakup pelayanan bagi kelompok rentan tersebut secara lebih baik.
Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat Fatum Ade menyebutkan dalam webinar di Jakarta, Kamis, bahwa sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam aturan tersebut adalah ketentuan yang terlihat menghilangkan kecakapan orang dengan disabilitas, terutama disabilitas mental dan intelektual, dalam membuat keputusan, termasuk dalam layanan aborsi.
"Alih-alih melindungi hak otonomi tubuh perempuan disabilitas, aturan ini justru secara gamblang menghilangkan kecakapan Orang Dengan Disabilitas, terutama Disabilitas Mental dan Disabilitas Intelektual. Melalui Pasal 62 Ayat (5)'...orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan, persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga lainnya..'," kata Fatum Ade.
Dia menilai, ketentuan ini merampas hak penyandang disabilitas untuk menentukan keputusan terkait tubuhnya sendiri. Menurutnya, daripada mencabut hak pengambilan keputusan kelompok rentan tersebut, negara seharusnya menyediakan mekanisme supportive decision making yang memungkinkan mereka membuat keputusan dengan berbagai dukungan yang menghormati hak dan otonomi mereka.
"Selain itu, penggunaan istilah 'cacat' dalam regulasi ini memperkuat stigma diskriminatif. Aturan ini seharusnya berlandaskan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2011 yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas serta Undang-Undang No.8 Tahun 2016," dia menambahkan.
Baca juga: MPR minta pemerintah penuhi hak penyandang disabilitas
Baca juga: Mensos dukung proses hukum tanpa abaikan hak disabilitas IWAS
Menurut Fatum Ade, kebijakan kesehatan harus mengadopsi pendekatan hak asasi manusia yang menghormati kemandirian, martabat, dan hak penyandang disabilitas dalam mengambil keputusan secara mandiri, ketimbang pendekatan model medis yang menempatkan disabilitas sebagai sesuatu yang harus diperbaiki.
Sejumlah kelompok yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusif, seperti PJS, Save All Women and Girls (SAWG), Asosiasi LBH APIK Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, menyampaikan perlunya pembenahan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 2 tahun 2025.
Adapun sejumlah tuntutan yang disampaikan yakni merevisi peraturan tersebut, antara lain dengan penghapusan ketentuan yang menyatakan bahwa orang dengan disabilitas tidak cakap mengambil keputusan, penghapusan semua penggolongan orientasi seksual sebagai disfungsi, kelainan, dan/atau gangguan serta upaya kuratif dan rehabilitatif yang mengikutinya, serta menghapus persetujuan Suami dan keluarga untuk akses aborsi dalam situasi darurat medis.
Baca juga: Penyakit radang panggul bisa pengaruhi reproduksi wanita
Baca juga: Ahli sarankan langkah preventif cegah infeksi kanker serviks
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2025