Jakarta (ANTARA) - Kebijakan fiskal digunakan oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mendistribusikan pendapatan, dan mendanai layanan publik yang penting.
Namun, rancangan kebijakan pajak dan manfaat sosial dapat berdampak berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki sektor tenaga kerja informal yang besar dan ketergantungan pada transfer sosial.
Jika kebijakan membatasi insentif perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam perekonomian, hal ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan mereka tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan memahami bagaimana kebijakan fiskal mempengaruhi perempuan dan laki-laki secara berbeda, pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih inklusif dan berkontribusi pada pertumbuhan yang berkelanjutan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 54,5%, jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki yang mencapai 84,3%. Perbedaan ini sebagian besar disebabkan oleh tanggung jawab domestik dan keterbatasan akses terhadap pekerjaan formal.
Pajak dan transfer sosial yang diterapkan di Indonesia memiliki dampak yang beragam terhadap berbagai jenis rumah tangga. Dalam banyak kasus, perempuan mengalami beban pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan manfaat yang mereka terima. Hal ini terutama terjadi pada rumah tangga yang dipimpin oleh perempuan atau rumah tangga dengan perempuan sebagai pencari nafkah utama.
Transfer sosial merupakan salah satu alat fiskal yang paling efektif dalam mengurangi kemiskinan, terutama bagi perempuan. Program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) telah membantu jutaan keluarga miskin di Indonesia.
Pada tahun 2022, PKH mencakup sekitar 10 juta keluarga dengan anggaran Rp28,7 triliun. Namun, efektivitas transfer sosial ini masih menghadapi tantangan, termasuk keterbatasan cakupan dan ketepatan sasaran.
Sebagai contoh, studi Bank Dunia menunjukkan bahwa perempuan di rumah tangga berpenghasilan rendah di Indonesia sering kali tidak mendapatkan manfaat penuh dari transfer sosial karena kendala akses dan administrasi. Situasi ini mirip dengan yang terjadi di Vietnam, di mana rumah tangga dengan perempuan sebagai pencari nafkah utama menerima manfaat yang lebih sedikit akibat keterbatasan waktu karena tanggung jawab domestik.
Baca juga: BI sinergikan kebijakan dengan stimulus fiskal untuk dorong ekonomi
Selain itu, pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia cenderung bersifat regresif, yang berarti bahwa kelompok berpenghasilan rendah, termasuk rumah tangga yang dipimpin oleh perempuan, menanggung beban yang lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi.
Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan PPN pada 2023 mencapai Rp765 triliun, dengan sebagian besar beban pajak ditanggung oleh kelompok rumah tangga yang lebih miskin karena proporsi konsumsi mereka lebih tinggi dibandingkan pendapatan.
Pajak penghasilan pribadi (PPh 21) di Indonesia didesain progresif, di mana individu dengan penghasilan lebih tinggi membayar pajak yang lebih besar. Namun, sistem ini dapat memperburuk kesenjangan gender jika perempuan menghadapi disinsentif untuk bekerja akibat beban pajak yang lebih tinggi.
Sebagai contoh, dalam sistem pajak penghasilan bersama (joint filing), pajak atas penghasilan pasangan dapat membuat perempuan enggan memasuki pasar tenaga kerja formal karena mereka akan dikenai pajak lebih tinggi jika pendapatan keluarga mereka meningkat.
Hal ini serupa dengan kondisi di Armenia, di mana rumah tangga dengan dua pencari nafkah menghadapi beban pajak yang lebih besar dibandingkan rumah tangga dengan satu pencari nafkah.
Di Indonesia, perempuan juga lebih banyak bekerja di sektor informal. Menurut data BPS, sekitar 64% perempuan bekerja di sektor informal pada 2022, dibandingkan dengan 58% laki-laki. Pekerjaan informal ini umumnya tidak dikenakan pajak penghasilan tetapi juga tidak memberikan perlindungan sosial yang memadai, seperti jaminan pensiun atau tunjangan kesehatan.
Kondisi ini mencerminkan situasi di Uruguay, di mana rumah tangga yang dipimpin oleh perempuan memiliki beban pajak yang lebih rendah tetapi juga memiliki akses terbatas terhadap jaminan sosial.
Subsidi energi merupakan salah satu instrumen fiskal yang sering digunakan untuk membantu rumah tangga miskin. Namun, manfaat dari subsidi ini sering kali tidak terdistribusi secara merata. Sebagai contoh, di Indonesia, subsidi BBM mencapai Rp350 triliun pada 2023, tetapi sebagian besar manfaatnya dinikmati oleh kelompok berpenghasilan menengah ke atas.
Di Guinea, perempuan kurang mendapatkan manfaat dari subsidi listrik karena lebih sedikit rumah tangga yang dipimpin oleh perempuan yang memiliki akses ke jaringan listrik. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, di mana rumah tangga yang dipimpin oleh perempuan memiliki tingkat akses listrik yang lebih rendah dibandingkan rumah tangga yang dipimpin oleh laki-laki.
Baca juga: Menavigasi dampak deflasi dan membangun solusi
Implikasi Kebijakan
Agar kebijakan fiskal dapat lebih efektif dalam mengurangi kesenjangan gender dan mendorong pertumbuhan ekonomi, beberapa rekomendasi kebijakan berikut dapat dipertimbangkan.
Pertama, meningkatkan efektivitas dan cakupan transfer sosial. Pemerintah dapat meningkatkan cakupan PKH dan BPNT dengan lebih menargetkan rumah tangga yang dipimpin oleh perempuan, khususnya di daerah pedesaan. Implementasi teknologi digital seperti e-wallet dapat memastikan bahwa manfaat sosial langsung diterima oleh penerima manfaat yang dituju, tanpa perantara yang dapat mengurangi efektivitasnya.
Kedua, mereformasi pajak untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam ekonomi dengan meninjau kembali sistem pajak penghasilan bersama untuk memastikan bahwa perempuan tidak menghadapi disinsentif pajak yang dapat menghambat partisipasi mereka dalam tenaga kerja formal, memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mempekerjakan perempuan, terutama dalam sektor formal.
Ketiga, mengurangi beban pajak tidak langsung pada Rumah Tangga berpenghasilan rendah dengan mengurangi PPN pada barang kebutuhan pokok dan layanan dasar yang lebih banyak dikonsumsi oleh rumah tangga berpenghasilan rendah, menyesuaikan skema subsidi energi agar lebih berorientasi kepada rumah tangga yang paling membutuhkan, khususnya rumah tangga yang dipimpin oleh perempuan.
Ketiga, meningkatkan akses perempuan ke pekerjaan formal dan jaminan sosial dengan mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam program jaminan sosial dengan memberikan kontribusi yang lebih rendah bagi pekerja berpenghasilan rendah dan menyediakan insentif bagi UMKM yang dimiliki oleh perempuan untuk mendaftarkan karyawan mereka ke dalam sistem jaminan sosial nasional.
Kebijakan fiskal memainkan peran penting dalam membentuk keputusan rumah tangga mengenai pekerjaan, tanggung jawab pengasuhan, dan dinamika ekonomi internal. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, kebijakan fiskal harus mempertimbangkan dampaknya terhadap perempuan dan laki-laki secara berbeda.
Dengan mengadopsi kebijakan pajak dan transfer sosial yang lebih inklusif, Indonesia dapat memastikan bahwa seluruh penduduknya memiliki peluang yang sama untuk berkontribusi dalam perekonomian dan menikmati manfaat dari pertumbuhan yang lebih adil dan berkelanjutan. Upaya ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan perempuan tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan di masa depan.
*) Dr Aswin Rivai SE MM adalah pemerhati ekonomi dan Dosen FEB-UPN Veteran Jakarta
Baca juga: Kebijakan insentif fiskal tingkatkan pengelolaan pendapatan daerah
Copyright © ANTARA 2025