Jakarta (ANTARA) - Energy Shift Institute (ESI) menilai perubahan kebijakan energi China, yakni mengandalkan produksi batu bara domestik, memperbaiki logistik energi, serta mempercepat transisi menuju energi bersih, menekan industri batu bara Indonesia.
“Perusahaan maupun pemerintah harus menyadari bahwa risiko yang dihadapi Indonesia bukan lagi bersifat sementara, melainkan struktural yang berasal dari perubahan kebijakan energi China,” ujar Pemimpin Riset Transisi Batu Bara ESI Hazel Ilango, dikonfirmasi dari Jakarta, Rabu.
Pergeseran struktural dalam pasar energi China memberikan risiko jangka panjang yang mengancam bisnis batu bara Indonesia. Pasalnya, selama ini China menyerap hingga 43 persen dari total ekspor batu bara Indonesia.
Menurut Hazel, Indonesia tidak bisa mengatasi risiko ini hanya dengan menyesuaikan biaya dan volume produksi, atau diversifikasi pasar tujuan ekspor batu bara.
Industri dan pemerintah harus memikirkan strategi yang lebih jauh dari hanya mengatasi masalah musiman pasar batu bara ini.
Salah satu tantangan utamanya adalah industri batu bara Indonesia kini harus bersaing dengan industri sejenis di China yang semakin efisien, yang membuat industri batu bara Indonesia semakin sulit bersaing.
Dengan produsen batu bara China menawarkan harga yang semakin kompetitif, ujar dia lagi, pertanyaannya adalah sejauh mana eksportir batu bara Indonesia dapat menurunkan harga mengingat terbatasnya kemampuan mereka untuk melakukan hal tersebut.
Kebijakan China untuk meningkatkan penggunaan batu bara domestik dan memanfaatkan batu bara dengan kualitas yang lebih tinggi akan semakin melemahkan pangsa pasar Indonesia dalam jangka panjang.
Selain itu, kebijakan iklim dan transisi energi China turut memperkuat tekanan ini, dengan lebih dari tiga perempat pertumbuhan permintaan listrik China pada 2024 bersumber dari energi bersih.
Hazel menilai melemahnya ekspor batu bara ke China akan membawa implikasi fiskal dan ekonomi serius untuk Indonesia. Sebab, batu bara masih menjadi kontributor utama pendapatan negara, dengan sumbangan lebih dari Rp100 triliun pada 2023.
“Jika tren penurunan ekspor berlanjut, pemerintah pusat dan daerah penghasil batu bara akan menghadapi penurunan penerimaan yang signifikan,” ujarnya lagi.
Baca juga: China luncurkan kebijakan mekanisme transisi energi berorientasi hijau
Baca juga: China perluas standar efisiensi energi ke lebih banyak industri utama
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































