Markas PBB, New York (ANTARA) - Sudan sedang menghadapi salah satu situasi darurat terparah di dunia, dengan lebih dari 30 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, termasuk 9,6 juta lebih pengungsi internal dan hampir 15 juta anak-anak, demikian disampaikan empat badan PBB pada Kamis (23/10).
Dalam siaran pers bersama, Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration/IOM), Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR), Dana Anak-anak PBB (UNICEF), dan Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) menyerukan perhatian internasional yang mendesak terhadap krisis di Sudan.
"Lebih dari 900 hari pertempuran brutal, pelanggaran hak asasi manusia secara meluas, kelaparan, dan keruntuhan layanan yang menopang kehidupan telah mendorong jutaan orang ke ambang kelangsungan hidup, terutama perempuan dan anak-anak," menurut siaran pers tersebut.
Dalam kunjungan terbaru ke Sudan, para pemimpin senior dari empat badan PBB tersebut menyaksikan dampak menghancurkan dari krisis di seluruh negeri, termasuk di Darfur, Khartoum, dan beberapa wilayah lain yang terdampak konflik, lanjut siaran pers itu.
Kini memasuki tahun ketiganya, konflik di Sudan menghancurkan layanan esensial seperti kesehatan dan pendidikan. Tahun lalu, kelaparan dikonfirmasi terjadi di beberapa bagian Sudan, dan situasi kelaparan masih katastropik, dengan anak-anak menjadi kelompok yang paling terdampak, dan tingkat malanutrisi melonjak, menurut siaran pers tersebut.
Lebih lanjut disampaikan dalam siaran pers bahwa keluarga yang kembali ke Sudan, banyak di antaranya didorong oleh tekad untuk membangun kembali kehidupan mereka setelah bertahun-tahun konflik tanpa henti, mencerminkan pergeseran yang rapuh namun penuh harapan. "Namun, Sudan masih menjadi negara yang terjerat krisis mendalam."
"Skala kembalinya warga ke Khartoum ini merupakan pertanda ketahanan sekaligus peringatan," kata Wakil Direktur Jenderal Operasi IOM Ugochi Daniels yang baru saja kembali dari kunjungan ke Sudan.
Akses ke populasi yang paling terdampak masih sangat terbatas. Para pekerja kemanusiaan menghadapi situasi tidak aman, hambatan birokrasi serta tantangan logistik yang membuat penyaluran bantuan penyelamat nyawa menjadi sangat sulit, kata siaran pers tersebut.
"Ini salah satu krisis perlindungan terburuk yang kami lihat dalam puluhan tahun. Jutaan orang mengungsi di dalam dan luar negeri, dan keluarga yang kembali memiliki sedikit dukungan karena tidak ada opsi lain," kata Wakil Komisaris Tinggi UNHCR Kelly T. Clements, setelah mengunjungi lokasi pengungsian di Port Sudan dan di luar Khartoum.
Siaran pers tersebut menyebut kekurangan dana semakin memperburuk krisis. Rencana Tanggap Kemanusiaan Sudan 2025, yang total anggarannya mencapai 4,2 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp16.645), masih sangat kekurangan pendanaan, baru terpenuhi sekitar 25 persen.
Dalam siaran pers tersebut, keempat lembaga itu bersama-sama menyerukan penghentian segera aksi permusuhan, perlindungan bagi warga sipil, akses kemanusiaan tanpa hambatan bagi seluruh populasi terdampak, penyederhanaan prosedur untuk distribusi bantuan dan pergerakan staf, pendanaan yang mendesak dan fleksibel untuk meningkatkan intervensi penyelamatan jiwa, dukungan bagi solusi berkelanjutan bagi pengungsi serta dukungan berkelanjutan bagi pengungsi internal dan hampir 900.000 pengungsi di Sudan yang membutuhkan perlindungan dan layanan internasional.
Pewarta: Xinhua
Editor: Benardy Ferdiansyah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































