Tuntutan regulasi baru ojol cermin "gig economy" di ujung revolusi

1 week ago 8

Jakarta (ANTARA) - Meskipun menawarkan peluang ekonomi yang lebih luas, gig economy faktanya banyak menimbulkan tantangan terkait kesejahteraan pekerja, regulasi, dan stabilitas industri.

Gig economy yang merupakan sistem ekonomi yang berbasis pekerjaan fleksibel, di mana individu bekerja secara independen atau sebagai mitra tanpa terikat kontrak kerja jangka panjang dengan perusahaan, banyak diterapkan dalam sektor transportasi daring, jasa pengiriman, dan pekerjaan lepas.

Konsep ini memang memberikan fleksibilitas bagi pekerja, tetapi seringkali mengorbankan kepastian pendapatan serta perlindungan ketenagakerjaan.

Di Indonesia sendiri, gig economy tanpa disadari sedang menjadi polemik. Ini tercermin dalam dunia ojek online (ojol) yang dalam satu dekade terakhir menjadi salah satu tulang punggung instrumen mobilitas masyarakat, khususnya di kota-kota besar.

Puluhan pengemudi ojol melakukan aksi demonstrasi di Kantor Kemnaker pada Senin (17/2). Mereka turun ke jalan dan melakukan mogok kerja untuk menuntut regulasi yang adil dan berpihak, termasuk menuntut adanya tunjangan hari raya (THR) untuk mereka.

Pemerintah merespons dengan melemparkan wacana untuk mengubah status pengemudi ojek online dari mitra menjadi pekerja. Ini semakin menandai babak baru dalam regulasi ekonomi gig di Indonesia.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan telah menegaskan bahwa salah satu perhatian khusus Kemnaker saat ini adalah membuat dan memperkuat payung hukum bagi para pekerja angkutan daring ini.

Kementerian itu, ke depan akan membuat regulasi terkait posisi hukum mereka, bahwa status mereka adalah sebagai pekerja, bukan mitra. Penegasan posisi hukum Itu sangat penting dan kini menjadi kajian dari kementerian tersebut.

Itu mengingat skema kemitraan yang selama ini berlaku berbasis pada konsep gig economy yang memberikan fleksibilitas, tetapi juga menimbulkan banyak tantangan terkait kesejahteraan pekerja.

Jika wacana perubahan regulasi terkait ojol ini diterapkan, implikasinya akan luas, tidak hanya bagi pengemudi, tetapi juga bagi platform ride-hailing, konsumen, dan ekosistem transportasi secara keseluruhan.

Dalam sistem kemitraan saat ini, pengemudi ojol dianggap sebagai individu yang bekerja secara mandiri, tanpa hubungan ketenagakerjaan langsung dengan perusahaan aplikasi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, perusahaan hanya wajib memberikan THR kepada pekerja yang setidaknya memiliki hubungan kerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWTT). Pengemudi online tidak dianggap wajib mendapat THR karena memiliki hubungan kerja kemitraan dengan perusahaan aplikasi.

Hal ini berarti mereka juga tidak memiliki hak atas gaji tetap atau perlindungan ketenagakerjaan yang sama dengan karyawan tetap di sektor formal.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli terus berkomunikasi dengan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization) untuk melihat bagaimana pandangan negara-negara lain soal pekerja layanan berbasis aplikasi, seperti pengemudi ojol.

Berkaca pada fenomena serupa di luar negeri, keputusan Mahkamah Agung Inggris pada Februari 2021 mengharuskan Uber memberikan hak-hak pekerja bagi pengemudinya. Uber kemudian mengklasifikasikan lebih dari 70.000 pengemudinya sebagai pekerja setelah keputusan hukum.

Sementara di Spanyol ada implementasi "Rider Law" pada Mei 2021. Ini menunjukkan ada tren global menuju perlindungan lebih besar bagi pekerja sektor gig economy.

Memang dengan perubahan status menjadi pekerja, pengemudi akan memiliki hak atas gaji tetap, tunjangan kesehatan, jaminan sosial tenaga kerja, serta perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.

Selain itu, mereka juga berhak atas cuti berbayar dan jaminan kecelakaan kerja, yang saat ini hanya bersifat sukarela.


Kepastian regulasi

Mengacu pada pengalaman di negara lain, seperti Spanyol dan Inggris, perubahan status ini berujung pada peningkatan biaya operasional platform, yang sebagian besar kemudian dibebankan kepada konsumen.

Berdasarkan laporan dari Financial Times, setelah Spanyol menerapkan Rider Law pada Mei 2021, tarif layanan ride-hailing di negara tersebut meningkat hingga 15-20 persen karena platform harus menyesuaikan dengan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi.

Di Inggris, laporan The Guardian menyebutkan bahwa Uber menaikkan harga perjalanan sekitar 10 persen pada tahun 2021 setelah pengemudi diklasifikasikan sebagai pekerja dengan hak-hak ketenagakerjaan penuh, termasuk upah minimum dan cuti berbayar.

Jika skenario serupa terjadi di Indonesia, kemungkinan besar tarif ojol juga akan mengalami kenaikan yang signifikan.

Meskipun demikian, peningkatan tarif bukan berarti kehilangan pasar. Sebaliknya, jika dikemas dengan baik, ini bisa menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas layanan dan menarik segmen konsumen yang lebih luas.

Salah satu strategi yang bisa diterapkan adalah segmentasi tarif berdasarkan waktu dan lokasi, mirip dengan model dinamis yang sudah diterapkan Uber di beberapa negara.

Dengan demikian, harga bisa tetap kompetitif saat permintaan rendah, tetapi naik saat permintaan tinggi, tanpa membebani konsumen secara berlebihan.

Dari perspektif pengemudi, perubahan status ini tidak hanya memberikan jaminan finansial, tetapi juga meningkatkan posisi tawar mereka dalam industri ini.

Sebagaimana Menaker sampaikan bahwa isu tentang ojol bukan sebatas pemberian THR, melainkan kepastian regulasi dan hukum untuk menjamin hak dan kesejahteraan selayaknya pekerja.

Selama ini, banyak pengemudi mengeluhkan sistem suspend yang seringkali tidak transparan dan pemotongan komisi yang terus meningkat. Dengan status pekerja, mereka memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap praktik-praktik semacam itu.

Lebih jauh, jika diterapkan dengan pendekatan yang tepat, regulasi ini bisa membuka peluang bagi pengemudi untuk mendapatkan pelatihan keterampilan tambahan yang bisa meningkatkan mobilitas ekonomi mereka dalam jangka panjang.

Namun, di sisi lain, ada tantangan bagi perusahaan aplikasi. Dengan meningkatnya biaya tenaga kerja akibat perubahan ini, perusahaan perlu mencari cara untuk menjaga efisiensi dan profitabilitas.

Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah diversifikasi layanan, seperti yang telah dilakukan oleh Gojek dan Grab melalui ekspansi ke sektor keuangan, logistik, dan belanja daring. Dengan demikian, beban biaya tenaga kerja bisa tersebar lebih merata ke berbagai sumber pendapatan.

PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk juga sudah buka suara soal polemik yang terjadi. Pada intinya perusahaan memiliki kapasitas dan kemampuan yang ada batasnya. Meskipun begitu, mereka tetap memiliki itikad yang baik untuk membahas persoalan itu dengan pemerintah.

Kemampuan perusahaan juga harus tetap menjadi bahan pertimbangan sebab sebagaimana pengalaman di Spanyol, beberapa perusahaan, bahkan menghentikan layanan mereka akibat meningkatnya biaya operasional.

Ke depan diperlukan regulasi yang juga memungkinkan pemerintah untuk memperkuat pengawasan terhadap implementasi aturan ketenagakerjaan di sektor gig economy.

Kasus di Amerika Serikat, misalnya, menunjukkan bahwa beberapa perusahaan tetap mencari celah hukum untuk menghindari pengeluaran tambahan terkait perubahan status pekerja.

Misalnya, di California, Uber dan Lyft mendorong pengesahan Proposition 22 pada tahun 2020, yang memungkinkan mereka tetap mengklasifikasikan pengemudi sebagai kontraktor independen, meskipun undang-undang AB5 mengharuskan mereka untuk dikategorikan sebagai pekerja tetap.

Proposition 22 berhasil disahkan melalui referendum dengan dukungan mayoritas, namun kemudian dinyatakan tidak konstitusional oleh pengadilan pada tahun 2021, sebelum akhirnya dipulihkan kembali melalui banding di tahun 2023 (meski banding tidak mengabulkan seluruhnya, namun sebagian).

Bagi Indonesia sendiri, selain mengacu pada pengalaman negara lain dengan penyesuaian kondisi lokal, dalam jangka panjang, perubahan regulasi yang baik berpotensi menciptakan sistem transportasi yang lebih berkelanjutan dan adil.

Pengemudi akan mendapatkan kepastian ekonomi yang lebih baik, konsumen tetap mendapatkan layanan berkualitas, dan perusahaan dapat tetap berkembang dengan model bisnis yang lebih adaptif.

Kuncinya adalah mencari jalan tengah yang adil dan menciptakan keseimbangan antara hak pekerja, keberlanjutan bisnis, sekaligus daya beli masyarakat.

Dengan perencanaan yang matang dan pelibatan seluruh pemangku kepentingan, transformasi ini bisa menjadi langkah besar menuju ekosistem transportasi digital yang lebih berkeadilan di Indonesia.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |