Jakarta (ANTARA) - Kemudahan mendapatkan pinjaman online (pinjol) membuat banyak orang tergoda untuk meminjam tanpa perhitungan matang. Namun, di balik proses yang cepat dan praktis, ada risiko besar yang harus dihadapi jika nasabah gagal membayar pinjaman tepat waktu.
Dari denda yang terus bertambah hingga ancaman masuk daftar hitam kredit, sanksi bagi nasabah yang tak melunasi utang pinjol bisa berdampak panjang. Lalu, apa saja konsekuensi yang harus ditanggung jika terlambat atau bahkan gagal membayar pinjaman online? Simak penjelasannya berikut ini.
Baca juga: OJK ubah batas bunga harian pinjaman "online" per 1 Januari 2025
Sanksi Nasabah yang tidak bayar pinjaman online
1. Bunga dan denda pinjol bisa semakin besar
Salah satu dampak utama yang langsung dirasakan saat tidak membayar pinjaman online adalah bertambahnya beban bunga dan denda keterlambatan. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan batas maksimum bunga pinjol, jumlah utang tetap bisa membengkak jika pembayaran terus ditunda.
Berdasarkan Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.06/2023, bunga maksimal untuk pinjaman online legal adalah sebagai berikut:
• 0,1% per hari untuk pinjaman produktif (berlaku mulai 1 Januari 2024).
• 0,2% per hari untuk pinjaman konsumtif (berlaku mulai 1 Januari 2025).
Sebagai ilustrasi, jika seseorang meminjam Rp3 juta dengan bunga 0,2% per hari selama 30 hari, maka total bunga yang harus dibayar mencapai Rp180 ribu. Jika pembayaran terus ditunda, jumlah ini akan semakin bertambah.
Selain bunga, denda keterlambatan juga akan memperbesar total utang yang harus dilunasi. Jika tidak segera diselesaikan, nominal-nya bisa melampaui jumlah pinjaman awal, sehingga semakin menyulitkan proses pelunasan.
Baca juga: Ini 97 pinjol resmi berizin OJK yang tersedia pada tahun 2025
2. Ditagih debt collector dengan beragam cara
Jika pinjaman online tidak dilunasi, pihak penyedia layanan tentu akan melakukan penagihan melalui debt collector. Namun, dalam menjalankan proses penagihan, perusahaan pinjol wajib mematuhi peraturan yang berlaku.
Pada prinsipnya, perusahaan pinjol dapat bekerja sama dengan pihak ketiga dalam menagih utang, asalkan pihak tersebut berbadan hukum, memiliki izin dari lembaga berwenang, serta tenaga penagihnya telah tersertifikasi oleh lembaga sertifikasi profesi yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, pihak penagih tidak boleh memiliki keterkaitan atau afiliasi langsung dengan penyelenggara pinjol maupun pemberi dana.
Proses penagihan sendiri harus dilakukan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat serta mengikuti ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur praktik tersebut.
3. Skor kredit di SLIK OJK bisa memburuk
Menunggak pembayaran pinjaman online dapat berdampak jangka panjang pada riwayat kredit. Semua aktivitas pinjaman yang tercatat akan tersimpan dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK, yang sebelumnya dikenal sebagai BI Checking.
Jika mengalami gagal bayar, informasi tersebut akan terdokumentasi dalam sistem dan dapat diakses oleh bank serta lembaga keuangan lainnya. Akibatnya, pengajuan kredit di masa depan, seperti KPR, kredit kendaraan, atau kartu kredit, bisa menjadi lebih sulit disetujui.
Tak hanya itu, beberapa perusahaan kini juga mempertimbangkan riwayat kredit saat melakukan seleksi karyawan, terutama di sektor keuangan dan perbankan. Jika skor kredit buruk, peluang untuk mendapatkan pekerjaan tertentu bisa semakin kecil.
Baca juga: OJK terbitkan 661 sanksi dan cabut ijin usaha pinjaman online
4. Risiko penyalahgunaan data pribadi
Pinjaman online ilegal sering kali menyalahgunakan data pribadi peminjam sebagai alat tekanan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa data tersebut dapat digunakan untuk menyebarkan informasi sensitif atau bahkan memfitnah peminjam kepada kontak yang tersimpan di ponsel-nya.
Sementara itu, layanan fintech yang terdaftar secara resmi hanya diperbolehkan mengakses data tertentu, seperti kamera, mikrofon, dan lokasi, sesuai dengan regulasi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Aturan ini bertujuan untuk menjaga privasi serta keamanan pengguna dari potensi penyalahgunaan data.
5. Potensi gugatan perdata
Tidak melunasi pinjaman online dapat membuat pemberi pinjaman mengajukan gugatan perdata terhadap debitur. Gugatan ini biasanya didasarkan pada wanprestasi, yakni pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati antara kedua belah pihak.
Secara umum, perkara utang piutang berada dalam ranah hukum perdata. Namun, dalam situasi tertentu, gagal bayar bisa berujung pada kasus pidana. Misalnya, jika seseorang dengan sengaja memberikan informasi atau dokumen palsu saat mengajukan pinjaman, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Oleh karena itu, sebelum mengajukan pinjaman, penting bagi nasabah untuk mempertimbangkan kemampuan finansial-nya. Selain itu, memahami ketentuan bunga serta sistem pembayaran yang berlaku juga menjadi langkah bijak agar terhindar dari risiko hukum di kemudian hari.
Baca juga: Pemerintah harmonisasi aturan terkait pindar patuhi putusan MA
Baca juga: Ekonom: Perlu regulasi berkualitas dan integritas awasi pinjol
Pewarta: Sean Anggiatheda Sitorus
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025