Gulbahar, Afghanistan (ANTARA) - Dulunya merupakan pusat produksi tekstil dalam negeri yang berkembang pesat sekaligus pilar pembangunan industri Afghanistan, Pabrik Tekstil Gulbahar di Afghanistan kini tinggal reruntuhan, menjadi korban perang dan ketidakstabilan selama puluhan tahun.
Terletak sekitar 70 km sebelah utara Kabul, ibu kota Afghanistan, pabrik yang dikenal dengan nama Nasaji Gulbahar itu dulunya menyediakan lapangan pekerjaan bagi hampir 9.000 karyawan. Lebih dari sekadar tempat kerja, pabrik tersebut juga mendukung seluruh komunitas, menyediakan perumahan, bioskop, taman kanak-kanak serta sekolah untuk karyawan dan keluarga mereka.
Namun, lebih dari empat dekade konflik, pertikaian sipil, dan intervensi asing membuat pabrik ini menjadi terbengkalai, bersama dengan harapan dan impian mereka yang pernah bekerja di sana.
"Dulu orang-orang bahagia dan hidup dengan layak. Sekitar 8.500 karyawan mencari nafkah di sini," kenang Ghulam Dastgir Khan, seorang mantan pekerja dengan suara penuh nostalgia.
Khan, yang kini sudah berusia lanjut dan merupakan salah satu dari segelintir karyawan yang masih hidup sejak masa kejayaan pabrik tersebut, menjelaskan kegiatan operasional pabrik yang dahulu sangat sibuk. Mulai dari unit pemintalan, produksi selimut, bengkel pencelupan, pemadam kebakaran, kantin, dan fasilitas reparasi, semuanya ditangani oleh tenaga profesional.
Pada masa puncaknya, pabrik ini memproduksi 220.000 meter kain setiap hari. Puluhan bus mengantar para pekerja dari provinsi Kapisa dan Parwan yang berdekatan, sementara ribuan orang tinggal di perumahan yang disediakan di kompleks pabrik.
"Satu-satunya harapan saya adalah dapat melihat pabrik ini kembali hidup dan orang-orang kembali bekerja. Itulah impian saya," kata Khan sambil berdiri di tengah reruntuhan.
Berjalan di antara bangunan yang hancur itu menyingkap sisa-sisa ribuan mesin, beberapa masih utuh, yang menjadi saksi bisu masa lalu pabrik dan skala kehancuran akibat perang.
"Perang selama 40 tahun telah menghancurkan pabrik ini. Kami telah menghubungi pemerintah dan sektor swasta, namun biaya restorasi sangat besar dan di luar kemampuan domestik," ujar Qari Mohammad Sayed Ayubi, wakil direktur pabrik.
Dibangun setengah abad yang lalu di atas lahan seluas sekitar 93.887 hektare, pabrik tersebut kini dikelola oleh sekitar 60 staf, baik administrasi maupun teknis, yang bertugas menjaga aset-aset yang tersisa, termasuk mesin-mesin, toko, dan unit perumahan
"Pabrik ini dapat memainkan peran penting dalam menstabilkan ekonomi dan keamanan kami," kata Ayubi.
Ia melanjutkan "Jika dihidupkan kembali, pabrik ini dapat mempekerjakan setidaknya 5.000 orang. Karena kemiskinan, banyak orang Afghanistan yang melarikan diri ke luar negeri, beberapa tenggelam dalam perjalanan, sementara yang lain dieksploitasi. Pabrik ini dapat memberikan masa depan bagi mereka di sini."
Gulbahar tidak sendirian. Pusat-pusat tekstil utama lainnya seperti Pabrik Tekstil Bagrami di dekat Kabul, juga tinggal reruntuhan akibat konflik berkepanjangan.
Pemerintahan sementara Afghanistan telah berulang kali meminta investor dalam dan luar negeri untuk membantu membangun kembali industri negara yang hancur akibat perang itu, dengan harapan dapat memicu pemulihan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan memberikan alasan bagi warga untuk tetap tinggal di sana.
Pewarta: Xinhua
Editor: Benardy Ferdiansyah
Copyright © ANTARA 2025