Jakarta (ANTARA) - Ketidakpastian ekonomi global yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti kebijakan proteksionis, fluktuasi suku bunga, dan dinamika geopolitik menuntut setiap negara untuk memiliki strategi fiskal yang adaptif.
Salah satu strategi yang diterapkan oleh Indonesia adalah front loading dalam pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu dengan menarik utang dalam jumlah besar di awal tahun fiskal untuk mengantisipasi potensi gejolak ekonomi di kemudian hari.
Strategi front loading dalam pembiayaan menjadi instrumen penting bagi pemerintah Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
Front loading merujuk pada strategi pembiayaan APBN khususnya dengan penerbitan surat utang pemerintah dalam porsi yang signifikan di awal-awal tahun fiskal.
Pada tahun 2025, Kementerian Keuangan mencatat bahwa front loading telah dilakukan untuk mengantisipasi berbagai disrupsi global yang dipicu oleh gejolak ekonomi dunia, salah satunya terjadi pada 1 April saat Pemerintahan Trump mengumumkan kebijakan tarif impor dan Indonesia diganjar tarif 32 persen.
Pemerintah Indonesia telah menarik utang baru sepanjang tahun ini hingga akhir Maret 2025 senilai Rp270,4 triliun yang satunya berasal dari penerbitan Surat Berhaga Negara (SBN) yang telah mencapai Rp282,6 triliun atau 44 persen dari target Rp642,6 triliun. Sementara itu, pemerintah melakukan pembayaran pinjaman senilai Rp12,3 triliun, sehingga total pembiayaan utang terkoreksi menjadi Rp270,4 triliun.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dari realisasi akhir Maret 2024 yang hanya senilai Rp105,6 triliun atau meningkat Rp164,8 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan penarikan utang yang dilakukan cukup besar pada awal tahun atau front loading tersebut termasuk prefunding menjadi langkah antisipasi efek kebijakan Presiden AS Donald Trump.
Untuk itu strategi front loading harus dilakukan secara efektif, terukur, dan transparan karena menyangkut arah kebijakan fiskal nasional, stabilitas ekonomi makro, dan kepercayaan pasar dan publik terhadap pengelolaan APBN.
Strategi pembiayaan dilakukan Pemerintah Indonesia sudah dilakukan secara front loading bahkan sebelum masa APBN 2025 berlaku, yaitu dengan adanya aktivitas pemerintah yang telah melakukan prefunding untuk mendukung belanja pemerintah.
Menurut Kementerian Keuangan, penerapan strategi pembiayaan dari front loading lebih awal adalah untuk mengantisipasi ketidakpastian yang berpotensi membuat kenaikan biaya utang akibat ketidakpastian pasar.
Strategi front loading dalam pembiayaan APBN harus efektif karena strategi ini memiliki dampak besar terhadap stabilitas fiskal dan ekonomi nasional.
Beberapa alasan utama mengapa efektivitas strategi ini sangat penting adalah pertama, mengurangi risiko gejolak ekonomi global dikarenakan ekonomi dunia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral negara maju, ketegangan geopolitik, serta krisis energi atau pangan global.
Dengan melakukan front loading, pemerintah menarik utang sebelum kondisi pasar menjadi tidak menguntungkan (misalnya suku bunga melonjak atau investor enggan membeli surat utang negara).
Kedua, mengamankan ketersediaan dana untuk belanja prioritas, sehingga apabila pembiayaan sudah diamankan di awal tahun maka proyek infrastruktur bisa langsung dimulai, alokasi belanja bantuan sosial dapat tersalurkan tepat waktu, serta pertumbuhan ekonomi domestik dapat langsung terdorong sejak kuartal pertama tahun anggaran.
Ketiga, menjaga kepercayaan investor dan rating kredit dengan melakukan kebijakan front loading yang dilakukan secara terencana dan transparan menunjukkan Pemerintah mampu merencanakan pembiayaan dengan cermat, mengendalikan risiko fiskal yang berjalan, dan adanya komitmen terhadap stabilitas anggaran kuat. Hal ini dapat membantu menjaga atau meningkatkan peringkat kredit (sovereign credit rating), sehingga dengan demikian Pemerintah dapat menekan bunga utang yang dibebankan.
Keempat, mengurangi tekanan di paruh kedua tahun anggaran berjalan sehingga Pemerintah tidak perlu buru-buru menarik utang saat pasar tidak kondusif, dan dapat lebih fokus pada pengelolaan anggaran, bukan pencarian dana. Sehingga apabila implementasi front loading tidak efektif, dan pasar keuangan memburuk di pertengahan tahun, pemerintah bisa kesulitan mendapat pembiayaan murah.
Kelima, efisiensi biaya utang dari front loading yang dilakukan saat kondisi pasar sedang baik (misalnya bunga sedang rendah atau investor antusias) dan berimplikasi penurunan yield obligasi pemerintah, dapat mengurangi beban bunga utang di masa depan. Sehingga artinya, lebih banyak dana APBN bisa digunakan untuk pembangunan dan bukan untuk bayar bunga utang.
Baca juga: Sri Mulyani: Pembiayaan APBN masih prudent untuk efisiensi belanja
Implementasi strategi front loading
Realisasi pembiayaan utang yang signifikan di awal tahun menunjukkan bahwa strategi front loading telah dijalankan secara efektif. Namun, hal ini juga berdampak pada peningkatan defisit APBN, yang tercatat mencapai Rp104,2 triliun atau 0,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Maret 2025.
Meskipun demikian, pemerintah memastikan bahwa defisit tersebut masih dalam batas aman sesuai dengan Undang-Undang No 62 Tahun 2024 tentang APBN Tahun Anggaran 2025, yang menetapkan batas maksimal defisit sebesar 2,53 persen dari PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menegaskan bahwa pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 tetap dilakukan secara prudent, terukur, dan akomodatif terhadap efisiensi belanja negara serta dinamika pasar keuangan.
Kebijakan pembiayaan yang diambil juga telah mempertimbangkan kebutuhan program dari Presiden, namun semuanya di desain dalam APBN yang tetap prudent dan sustainable. Jadi ini yang menjadi anchor bagi Pemerintah untuk untuk menegaskan hal-hal, terutama, indikator ekonomi yang secara fundamental masih masih baik. Sehingga sampai saat ini pelaksanaan pembiayaan berjalan sesuai jalur (on track), dengan biaya dana (cost of fund) yang tetap efisien dan risiko yang terus dimitigasi secara aktif.
Walaupun demikian, Bright Institute melalui ekonom Awalil Rizky mengatakan, agar Pemerintah menjalankan strategi front loading dengan memberikan gambaran sebagai alasan yang berlebihan. Menurut Awalil, front loading sudah dilakukan pemerintah sejak akhir tahun lalu untuk dibukukan sebagai utang APBN 2025.
Memang dalam hal ini akan lebih bijak dikatakan pemerintah sedang kesulitan arus kas, sehingga wajar jika pada waktu-waktu tertentu pemerintah kesulitan arus kas dan terpaksa berutang lebih awal untuk keberlanjutan program pembangunan.
Sedangkan dalam konteks global, India merupakan salah satu negara yang berhasil menerapkan strategi front loading dalam pembiayaan anggarannya. Pemerintah India secara rutin menerbitkan sebagian besar obligasi pemerintah pada paruh pertama tahun fiskal untuk mengurangi risiko pasar dan memastikan ketersediaan dana untuk belanja publik. Strategi ini telah membantu India dalam mengelola volatilitas pasar dan menjaga stabilitas fiskal.
Baca juga: Menjaga keseimbangan likuiditas pasar keuangan melalui pembelian SBN
*) Dr M Lucky Akbar SSos MSi adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi
Copyright © ANTARA 2025