Ahli: Petambak udang di Donggala mesti didorong peduli dengan mangrove

1 week ago 9

Jakarta (ANTARA) - Petambak udang di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah dinilai oleh ahli kehutanan mesti didorong untuk lebih peduli dengan kelestarian hutan mangrove agar ekosistem tidak rusak lebih parah.

Ahli kehutanan dari Universitas Tadulako, Dr. Bau Toknok, mengatakan bahwa rata-rata tambak budidaya udang di Donggala, khususnya kawasan Desa Lalombi, Kecamatan Banawa Selatan justru merusak hutan mangrove.

“Masyarakat membuat pematang tambak dengan mengisolasi kawasan itu sehingga lama-lama mangrove ada yang mati karena tidak ada sirkulasi antara air tawan dan air asin,” kata Bau Toknok yang ditemui seusai peluncuran Program Climate Smart Shrimp Farming dan penanaman mangrove olah Yayasan Konservasi Indonesia di Desa Lalombi, Donggala, Rabu.

Menurut dia, aktivitas pembukaan kawasan hutan mangrove untuk menjadi tambak udang di Desa Lalombi, Banawa Selatan sudah berlangsung cukup lama, setidaknya sejak tahun 1990-an saat dimulainya program Bina Bahari.

Namun program pemerintah tersebut berujung mangkrak sehingga masyarakat berjalan sendiri dan membuat budidaya tambak udang tidak berjalan maksimal dengan kondisi mangrove sudah banyak yang gundul.

Berdasarkan data peta tata ruang diketahui luas hutan mangrove tersisa di Desa Lalombi saat ini seluas 50,86 hektare, dengan tambak rakyat terbentang 300 hektare dari Desa Lalombi - Desa Surunama dan Tanah Mea.

“Efeknya dirasakan sampai hari ini. Walau masih ada beberapa yang bertahan tapi sebagian besar petambak gagal. Nah yang masih ada itulah yang perlu kita dorong juga memperhatikan mangrove supaya budidayanya berkelanjutan,” kata dia.

Dia memaparkan, secara teori mangrove mampu menyerap zat logam yang lebih tinggi, memfiltrasi air buangan tambak hingga menjadi jernih saat dilepas ke laut atau bahkan masuk kembali ke tambak. Kemudian dengan adanya mangrove maka ekosistem sekitar tambak juga pulih seperti ikan-kepiting bakau dan seterusnya hidup, tidak seperti sekarang yang seolah tanah tinggal.

Hal ini, menurut dia, sebagaimana gambaran umum dari manfaat restorasi mangrove dalam program Climate Smart Shrimp (CSS) yang sedang mereka kembangkan bersama tim dari Yayasan Konservasi Indonesia dan perusahaan rintisan budidaya udang berbasis teknologi, JALA, di lahan seluas 3,5 hektare di Desa Lalombi.

“Ini akan menjadi percontohan nasional, kita dukung sampai berhasil, bisa jadi penelitian dan edukasi bagi petambak sekitar sebagai prioritas,” ujarnya.

Sementara itu Kepala Desa Lalombi, Arus Sidora, mengatakan bahwa tambak udang menjadi mata pencarian utama bagi sekitar 634 kepala keluarga di desanya selain nelayan dan petani sejak akhir tahun 1980-an.

Namun dampaknya berupa mangrove yang tidak terjaga diakuinya baru dirasakan warga desa setempat sekitar 10-15 tahun terakhir, di mana tak sedikit tambak jadi terlantar karena udang rentan mati.

"Masyarakat saya dukung, mereka belajar dari para ahli di sini, dan juga mungkin dapat diserap jadi pekerja di tambak yang pertama kali menerapkan teknologi CSS seperti ini," kata dia.

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |